Muhammad Al Fatih Memantaskan Diri
Sebuah kisah yang sangat menggetarkan hati bagaimana kita berusaha menggapai
impian dengan penuh kesungguhan yang kita dapatkan dari seorang panglima tentara
yang terkenal dengan ketangguhannya. Panglima tersebut bernama Mumammad
Al-Fatih, seorang pemuda yang memiliki kekuatan visi dalam hidupnya.
Cerita itu dimulai dari perang Al-Azhab, yaitu perang Khandaq pada zaman
Rasulullah. Pasukan kaum muslimin yang berjumlah sekitar 10 ribu akan diserang
oleh gabungan tentara kaum quraisy, yahudi dan kaum lainnya yang jumlahnya
mencapai 100 ribu orang. Target utama dari perang ini adalah penyelamatan kota
Madinah dari serbuan musuh. Para sahabat lalu berkumpul dan bermusyawarah untuk
mencari strategi memenangkan pertempuran. Kalau dihitung dengan jumlah tentara
yang ada, berarti 1 orang tentara muslim harus berhadapan dengan 10 orang
tentara musuh. Jika hanya menggunakan perlengkapan seadanya, tentulah kemungkinan
besar akan kalah. Karena itu, disusunlah strategi untuk mengatasi kekurangan
pasukan dengan cara yang lain.
Sahabat yang bernama Salman Al-Farisi mengusulkan cara agar penyerang tidak
bisa masuk ke Madinah, yaitu dengan meminta pasukan muslimin menggali parit
(khandaq) sebagai jebakan yang panjangnya 8 km, lebarnya 5 m dan dalamnya 3
meter, supaya kuda musuh yang terperangkap tidak dapat naik. Bayangkanlah,
betapa beratnya para pasukan harus bekerja keras menggali parit di atas tanah
bebatuan yang keras dan cadas. Sungguh suatu perjuangan yang luar biasa.
Dalam proses menggali parit-parit, tiba-tiba ada salah seorang sahabat yang
datang kepada Rasulullah “ ya Rasulullah, kota mana yang akan kita taklukkan
terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma? Rasulullah menjawab “
kota yang dipimpin oleh Hericlius (Roma)”. Coba bayangkan, saat merasakan
kelelahan yang sangat luar biasa di tengah teriknya gurun yang panas, pasukan
yang sedang menggali parit bukan bertanya “ ya Rasulullah, apakah kami sudah
siap dengan jumlah yang ada untuk melawan 100 ribu tentara musuh? Bagaimana
bila ternyata kita justru kalah? Dan tidak mampu mempertahankan Kota Madinah
ini? Namun sebaliknya, mereka malah bertanya dengan penuh semangat tentang kota
manakah yang akan dikuasai kaum muslimin terlebih dulu. Suatu tingkat
kepercayaan yang tinggi yang sulit dicari tandingannya.
Sebagai pemimpin, Rasulullah kemudian membuat pernyataan visi jangka panjangnya
dalam sebuah hadist, “kalian pasti akan membebaskan Kostantinopel” pemimpin
yang melakukannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah
komandonya adalah sebaik-baik pasukan”.
Sejak saat itu, turun-temurun para sahabat berlomba-lomba ingin disebut menjadi
sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan. Hingga tak terasa 800 tahun
berlalu, lahirlah seorang anak bernama Muhammad Al-Fatih.
Ayahandanya Sultan
Murad II, mengajarkan Fatih ilmu agama dengan meminta syaikh Aaq Syamsudin Al-wali,
keturunan Abu
Bakar r.a, untuk mengajarkan berbagai disiplin ilmu kepada
Al-fatih. Setiap pagi, Muhammad Al-fatih kecil diajak melihat tembok Benteng
Konstantinopel yang kokoh setinggi 18 meter dari kejauhan. Untuk memasuki
benteng itu sangat susah, Konstantinopel dikelilingi oleh benteng berlapis tiga
yang membentang sepanjang kota sehingga akan menyulitkan pasukan manapun yang
berniat menaklukannya. Di kanan kiri kota tersebut diapit lautan dan pada
bagian lain berdiri benteng kokoh. Pada lapisan pertama, ada pembatas sungai
yang di dalamnya terdapat buaya-buaya ganas. Pada lapisan kedua terdapat
pasukan pemanah berjumlah ribuan yang siap memanah. Dan begitu juga benteng
lain yang sangat kokoh. Selama berabad-abad, Konstantinopel tidak pernah bisa
ditaklukkan oleh siapapun.
Suatu hari syaikh Syamsudin berkata kepada Muhammad Al-fatih, “wahai Muhammad
Al-fatih, kamu tahu apa itu? Itu tembok konstantinopel dan tahukah engkau
bagaimana janji Rasulullah? Janjinya adalah kota konstantinopel akan jatuh ke
tangan islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan
pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan. Saya yakin
kelak anak cucumu akan menaklukkan konstantinopel. Tapi saya lebih senang kalau
kamu yang menaklukkannya, Nak.
Al-Fatih pun menjawab, “iya! Saya ingin menaklukkan Konstantinopel. Dan karena
saya ingin menaklukkannya, maka saya akan memantaskan diri.”
Muhammad Al-fatih pun akhirnya memantaskan diri. Apa yang dia lakukan? Pada
usia 8 tahun, dia sudah hafal Al-Quran. Coba bandingkan dengan diri kita
sekarang, sudah berapa umur kita? Hafalan hanya surat Al-Ikhlas dan Qulhu dan
surat-surat pendek lainnya.
Ia tahu bahwa sebaik-baik pemimpin bukanlah orang biasa maka ia tidak pernah
meninggalkan shalat rawatib. Dan ia tidak pernah meninggalkan tahajjud, ia juga
mahir berkuda, dan beberapa keterampilan lain. Ia juga fasih bicara dalam 7
bahasa : Arab, latin, Yunani, Serbia, Turki, Parsi dan Ibrani.
Waktu pun terus berlalu, Muhammad Al-fatih, kini telah beranjak dewasa.
Di usia yang masih tergolong belia, ia mengerahkan pasukannya dan siap
berhadapan dengan pasukan konstantinopel. Bagaimana cara agar bisa melewati
laut dan benteng yang tingginya 18 meter dan mengalahkan pasukan konstantinopel
yang kuat itu?
Dalam membebaskan konstantinopel, kemampuan berperang yang hebat itu didukung
dengan strategi yang brilian. Awalnya, Muhammad Al-fatih menggunakan strategi
perang biasa untuk merebut konstantinopel, yaitu dengan dengan membobol benteng
dan menerobos lewat laut. Ia juga menggunakan kekuatan yang luar biasa, yaitu
membuat meriam terbesar dan terkuat yang pernah ada saat itu.
Ada 70 kapal dan 20 gallery (kapal perang yang lengkap dilengkapi dengan persenjataan)
diberangkatkan untuk menerobos ke Selat Golden Horn. Namun cara biasa
itu terbukti tidak mampu untuk mengalahkan benteng kota terkuat di dunia saat
itu. Berbagai cara lainnya telah dicoba, namun belum kunjung berhasil.
Akibatnya pasukan Muhammad Al-fatih pun menderita kerugian besar.
Di sinilah kegeniusan Muhammad Al-fatih terbukti. Setelah berbagai cara
dilakukan, ia pun mengusulkan agar memindahkan kapal melewati perbukitan Galata,
untuk memasuki titik terlemah Konstantinopel, yaitu Selat Golden Horn. “Kalau
begitu, tarik kapalnya melalui darat, dan kita akan mendaki bukit karena orang
konstantinopel tidak akan berpikir kalau pasukan muslim akan melewati bukit”
seru Muhammad Al-fatih.
Beberapa pasukan bertanya, “ Mana mungkin kita
dapat melewati bukit? Jalanan begitu sulit dilalui”.
Muhammad Al-fatih menjawab, “ Konstantinopel akan jatuh di tangan Islam,
pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang
berada di bawahnya adalah sebaik-baik pasukan. Lakukanlah!!!
“Tapi sepertinya tidak mungkin” sengah pasukan.
“Lakukan!” jawab Muhammad Al-fatih dengan tegas.
Ternyata ide yang terdengar seperti lelucon itu dilaksanakan dengan baik oleh
semua pasukan. Kapal-kapal pasukan al-fatih pun seolah berlayar mengarungi
perbukitan dalam satu malam. Satu strategi luar biasa yang membuat para
sejarawan terkagum-kagum hingga saat ini.
Kerja keras yang mengingatkan kepada para pasukan di masa Rasulullah yang
begitu kesulitan dalam menggali parit. Keyakinan penuh dan semangat membara
bahwa mereka akan menjadi sebaik-baik pasukan yang disebut Rasulullah berabad
lampau, membuat mereka memiliki kekuatan di luar batas pemikiran. Seolah selalu
terngiang di telinga mereka kata-kata Rasulullah yang menggetarkan hati, sebuah
visi besar Rasulullah, yang kini sedang diemban untuk menjadi sebaik-baiknya
pasukan di muka bumi.
Dan akhirnya.. dini hari menjelang pagi, saat orang konstantinopel mulai
bersiaga kembali, mereka terkejut dengan suara bergemuruh yang meluruhkan
segenap persendian mereka… “laa ilaaha illallah… “ suara itu begitu jelas
terdengar dari turunan bukit. Ya pasukan Muhammad Al-fatih berhasil mencapai
turunan bukit menuju benteng Konstatinopel yang angkuh berdiri.
Sebelum menyerang pasukan musuh, hari itu para rombongan pasukan muslim
diperintahkan oleh Muhammad Al-fatih untuk berpuasa, malam harinya seusai
berperang mereka tahajud dan meminta pertolongan Allah.
Begitulah hari-demi hari dijalani, peperangan pun berlangsung hingga akhirnya
kaum muslimin memperoleh kemenangan dan menaklukkan Konstantinopel.
Sebelum waktu ashar tiba, al-fatih telah menginjakan kakinya di dalam benteng
konstantinopel . Allahuakbar, visi Rasulullah telah terpenuhi oleh pemimpin terbaik
dan pasukan terbaik.
Para pasukan berteriak, memuji dan menyebut nama Allah bersahut-sahutan.
Bergegas Al-fatih bersujud menghadap ka’bah dengan membawa segenggam tanah
sembari berkata “Saya tidak lebih mulia dari tanah ini, saya akan kembali ke
tanah ini juga”.
Walaupun berhasil memimpin kemenangan besar menaklukkan Konstantinopel,
Muhammad Al-fatih tetap tidak sombong, selama 800 tahun lebih, tidak ada yang
berhasil, namun Al-fatih berhasil melakukannya dalam usia kisaran 21 tahun dan
mewujudkan salah satu janji Rasulullah sekaligus mewujudkan visinya.
Setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel, Muhammad Al-fatih berencana menaklukkan Roma.
Sembilan belas tahun kemudian, saat keinginan itu hendak diwujudkan, para
penguasa di Roma sudah ketakutan. Dan sebelum misi itu terlaksana, dalam
perjalanan menuju Roma, ia meninggal dunia. Sedih atau bahagia? Ada perpaduan
di dalamnya, sedih karena kehilangan salah seorang pemimpin terbaik di usia
yang relatif muda, bahagia karena berarti bagi kita ada kesempatan menjadi
seseorang terbaik, menaklukkan salah kota yang sudah disebut sejak zaman Nabi
yaitu Roma. Kalau kita tidak mampu, setidaknya anak cucu kita ada yang
menaklukkannya, mesti tidak dalam peperangan fisik.
Inilah visi yang besar dari seorang Al-Fatih, tentu kita sendiri memiliki visi
masing-masing. Maka wujudkanlah visi itu dengan sebaik-baik persiapan dan
usaha. Mari kita pantaskan diri kita sebelum
memperoleh visi tersebut.
Mengutip dari cerita dalam buku “On”, Jamil Azzaini
salah satu pemimpin yang dirindukan umat, indonesia kapan..?
ReplyDelete