Komodifikasi Dalam Media
Komodifikasi Dalam Media
A. Media Sebagai Nilai Ekonomi
Mengelola perusahaan media dewasa ini, apakah itu media cetak, radio dan televisi, tidak sama dengan mengelola perusahaan yang sama pada masa lalu. Keterbukaan pasar pers sejak era reformasi dan pengaruh keterbukaan pasar Indonesia terhadap persaingan dari luar atau globalisasi membawa dampak yang besar pada pasar media di negara kita.
Era perjuangan yang dikenal dengan industri media sudah menjadi sejarah masa lalu. Era yang berjalan sejak zaman kolonialisme itu, telah berubah sejak perekonomian Indonesia mengalami kemajuan di masa pemerintahan Soeharto. Industri media tidak lagi tergantung pada subsidi partai atau pemerintah. Pada saat itu, industri media mulai memasuki masa baru yang disebut dengan era bisnis dalam media, di mana periklanan telah menjadi sumber penting penghasilan industri media dan persaingan di pasar bertambah sengit dalam rangka merebut kue iklan. Pada saat itu, industri media tidak lagi menjual atau memasarkan produk content-nya kepada pasar khalayak, tetapi juga menjual produk audience-nya kepada dunia usaha sebagai pengiklan (advertisers), di mana pasar periklanan meningkat dan persaingan media untuk merebut kue iklan itu juga meningkat.
Herman dan Chomsky dalam Usman Ks (2009:6), menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Banyak pengusaha besar yang menanamkan modalnya dalam bisnis media massa. Para pengusaha yang terjun ke industri media tentu berharap modal yang sudah mereka tanamkan bisa kembali, bahkan menghasilkan keuntungan. Terjunnya pengusaha besar dalam industri besar dalam industri media memunculkan fenomena konglomerasi media. Selain dari pengusaha besar atau investor, yang menjadi sumber ekonomi media adalah pasar, yakni khalayak (hasil penjualan atau sirkulasi) dan pengiklan. Media juga harus mengetahui selera pasar dan perubahannya. Bagaimanapun, sebagai institusi ekonomi, media massa harus memenuhi kebutuhan pasar. Dikarenakan, pasarlah yang “membiayai” kelangsungan hidup media.
Picard dalam Usman Ks (2009:3) menyebutkan ekonomi media berkaitan dengan bagaimana industri media mengalokasikan berbagai sumber untuk menghasilkan materi informasi dan hiburan untuk memenuhi kebutuhan audiens, pengiklan, dan institusi sosial lainnya. Media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Ekonomi media mempelajari bagaimana industri media memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memproduksi konten dan mendistribusukannya kepada khalayak dengan tujuan memenuhi beragam permintaan dan kebutuhan akan informasi dan hiburan.
Pengelolaan media pada masa kini jauh dari ideal kepentingan publik. Meskipun industri media memiliki ratusan karyawan yang bagus, rajin, dan berbagai profesional, kendala struktural yang diciptakan oleh perusahaan terkadang menjadi kendala untuk mempertemukan berbagai potensi karyawan tersebut. Sebaliknya, media yang beragam, inovatif, substantive, dan independen karena perubahan strategis dalam industri media sering menyebabkan media tersebut memiliki konten yang homogen, memberitakan hal-hal sepele, dan membatasi rung gerak wartawan mereka sendiri. Sebuah media membuat kepentingan publik bila isi media mencerminkan keberagaman format dan konten. Media tersebut menampilkan lebih banyak suara dan perspektif dari beragam titik, yang dimasukkan dalam setiap pemberitaan.
Teori Ekonomi Politik Media
Ekonomi politik media terkait dengan masalah kapital atau modal dari para investor yang bergerak dalam industri media. Para pemilik modal menjadikan media sebagai usaha untuk meraih untung, dimana keuntungan tersebut diinvestasikan kembali untuk pengembangan medianya. Sehingga pengakumulasian keuntungan itu, menyebabkan kepemilikan media semakin besar. Dalam menjalankan media, investor mempekerjakan karyawan untuk menghasilkan produk media. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana media memproduksi isi, mendistribusikan sehingga bernilai ekonomis, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep untuk mendekatinya yakni: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi (structuration) (Mosco, 1996:139).
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada ranah ini maka struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Strukturasi berkaitan dengan relasi ide antar agen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain.
Teori ekonomi politik memiliki kekuatan pada tiga hal yaitu berfokus pada bagaimana media dibangun dan dikendalikan, menawarkan penyelidikan empiris mengenai keuangan media, dan mencari hubungan antara proses produksi konten media dan keuangan media (Barant, 2010:263). Teori ekonomi politik bersifat kritis, dimana teori ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu dan menyediakan cara-cara pengganti untuk menafsirkan peran sosial media (Barant, 2010:252). Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa, dimana keduanya dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Teori ini mengindentifikasi berbagai kendala atau hambatan yang dilakukan para praktisi media yang membatasi kemampuan mereka untuk menantang kekuasaaan yang sedang mapan. Dimana penguasa membatasi produksi konten yang dilakukan pekerja media, sehingga konten media yang diproduksi tersebut kian memperkuat status quo. Sehingga menghambat berbagai upaya untuk menghasilkan perubahan sosial yang konstruktif. Upaya penghambatan para pemilik pemodal, bertolak belakang dengan teoritikus ekonomi politik ini, yang justru aktif bekerja demi perubahan sosial. Karena itu, menurut Barant (2010:263), para teoritikus ekonomi politik menitikberatkan pada bagaimana proses produksi konten dan distribusi dikendalikan. Kekuatan utama teori ini terletak pada kemampuannya dalam menyodorkan gagasan yang dapat dibuktikan secara empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar. Salah satu kelemahan aliran ekonomi politik ialah unsur-unsur yang berada dalam kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. Walaupun aliran memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun aliran ini kemudian melahirkan ragam aliran baru yang menarik, yakni ragam aliran yang menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian media mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik media sampai pada batas-batas tertentu.
Ekonomi politik adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media. (McQuail,2011:105). Melihat hal ini maka institusi media merupakan sebagai bagian dari sistem ekonomi dengan hubungan erat kepada sistem politik. Hal ini mengakibatkan berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi pada khalayak yang lebih luas, menghindari risiko, dan mengurangi penanaman modal pada tugas media yang kurang menguntungkan. Pada sisi lainnya, media juga akan mengabaikan kepentingan khalayak potensial yang kecil dan miskin, karena dinilai tidak menguntungkan. Kemudian pemberitaan terhadap kelompok masyarakat minoritas, cenderung tidak seimbang. Barant (2011:250) menyebutnya teori ekonomi politik media fokus pada penggunaan elite sosial atas kekuatan ekonomi untuk mengeksploitasi institusi media.
Pasar Bisnis Media
Memasuki era moderen, media massa telah memasuki era industri atau telah menjadi institusi ekonomi. Ciri dari era industrialisasi adalah adanya kebutuhan modal yang cukup besar untuk mendirikan dan mengelola bisnis media massa. Menurut McQuail (2011:245) media semakin menjadi industri tanpa meninggalkan bentuknya sebagai institusi masyarakat; dan pemahaman tentang prinsip-prinsip utama struktur dan dinamika media menuntut analisis ekonomi, selain politik dan budaya. Meski media tumbuh sebagai respons terhadap kebutuhan sosial dan budaya individu dan masyarakat, media pada umumnya dikelola sebagai perusahaan bisnis. Karena itu, maka pengelolaan media massa membutuhkan modal. Menurut Vivian (2008:20), mendirikan dan mengoperasikan media massa butuh biaya mahal. Peralatan dan fasilitas membutuhkan investasi besar. Media massa beroperasi dalam lingkungan kapitalistis. Dengan sedikit pengecualian, mereka berusaha mendapatkan banyak uang. Kondisi ini membuat bisnis media hanya bisa dilakukan para pemodal kuat. Pemodal akan menanamkan uangnya, tidak hanya untuk mengembangkan perusahaan, tapi juga untuk menghadapi persaingan bisnis media yang cukup ketat. Maka untuk mengembalikan modal yang sudah ditanamkan, pemilik media akan mengharuskan media tersebut meraih laba. Bisnis media selalu mengalami perubahan.
Menurut William L River (2004:51) perubahan media akibat perkembangan demokrasi, revolusi industri dan teknologi, serta bermunculan kota-kota baru.
Pertama, sistem demokrasi yang dianut oleh setiap negara, amat menentukan bagaimana perkembangan media massa. Negara-negara yang mengusung sistem demokrasi memberikan kebebasan pers sebagai bentuk untuk tumbuhnya industri media.
Kedua, revolusi industri dan teknologi telah mengubah cara kerja media dalam bisnis, pemberitaan, distribusi, dan iklan. Revolusi teknologi mengubah media dari kegiatan sambilan menjadi industri yang membutuhkan investasi cukup besar. Revolusi industri ditandai dengan digunakannya berbagai teknologi mekanik. Ketersediaan listrik yang memacu energi pabrik dan transportasi, melandasi muncul dan berkembangnya radio, film, dan televisi. Kemajuan teknologi telah meningkatkan ukuran, jangkauan, dan efisiensi dalam semua lini usahanya untuk menghadapi persaingan industri media. Efisiensi dapat dilakukan pada level manajemen, organisasi, produksi, dan distribusi. Sehingga dapat memperkecil biaya operasional perusahaan, meningkatkan kualitas produk, memperluas jaringan, dan meningkatkan pendapatan. Kemajuan teknologi memunculkan produk media baru yang memiliki nilai ekonomis seperti film, radio, dan televisi, dan internet. Lahirnya media baru tersebut, untuk melengkapi bisnis media tersebut.
Ketiga, media berubah karena lahirnya kota-kota baru. Adanya kota baru, pertama karena adanya kebijakan pemerintah untuk membuat kota baru. Kedua, karena daerah tersebut memiliki sumber kekayaan alam yang besar, sehingga membuat arus urbanisasi masyarakat dari desa menuju kota tersebut cukup tinggi. Ketika kota-kota itu tumbuh yang ditandai dengan bertambahnya populasi dan meningkatnya sumber pendapatan masyarakat, maka jumlah penduduk yang meningkat tersebut merupakan pasar baru bagi media. Sehingga secara ekonomis, media dapat tumbuh di kota tersebut
Mengelola media massa memerlukan strategi khusus, karena manajemen media massa berbeda dengan manajemen bisnis nonmedia. Menurut David Croteau dan William Hoynest (2001:26-29), ada tiga hal yang membedakan bisnis media dengan nonmedia. Pertama, bisnis media massa beroperasi dalam pasar produk ganda yaitu menjual produk dan menawarkan iklan. Pada pasar pertama, media massa menjual produknya kepada masyarakat secara langsung. Untuk media cetak, manajemen media menjual surat kabar, majalah, dan tabloid. Untuk media elektronik menjual program acara hiburan yaitu film, talkshow, dan program berita yang dapat disaksikan langsung oleh masyarakat. Pada pasar kedua, media massa menyediakan ruangan (space) kepada produsen untuk memasang iklannya. Maka bagian pemasaran media massa akan mendatangi produsen untuk melakukan promosi dengan memasang iklan di media tersebut. Kedua, media massa sebagai sumber kewargaan. Media massa tidak hanya memberikan informasi kepada warga, namun memberikan pendidikan informal kepada masyarakat. Ketiga, keunikan status hukum media massa. Kebebasan berekspresi merupakan hak warga negara yang diidentikkan dengan media massa. Kebebasan menyatakan pendapat, yang menggunakan saluran media massa, sudah di atur dalam berbagai perangkat hukum.
Media massa mengandalkan pendapatannya pada pasar konsumer dan pasar iklan, menyebabkan media massa memiliki ketergantungan terhadap konsumen selaku pembeli produk dan produsen selalu pemasang iklan. Sehingga semakin tinggi ketergantungan terhadap iklan sebagai sumber pendapatan, semakin rendah pula kebebasan media massa dalam menulis konten berita dari kepentingan pengiklan dan bisnis secara umum. Dengan kata lain, setiap produsen yang telah memasang iklan pada media tersebut, konsekuensinya adalah media massa hanya memberitakan berita-berita yang bernada positif terhadap pemasang iklan. Media yang menggantungkan pendapatannya pada iklan, amat riskan terhadap perkembangan perekonomian suatu negara. Semakin tinggi perekonomian suatu negara, produsen semakin sering mengiklankan produknya di media massa. Namun begitu perekonomian negara jatuh, produsen pun mengurangi atau menghentingan belanja iklanya, yang berimplikasi surutnya para pemasang iklan di media massa. Persaingan dalam bisnis media, membuat kompetisi di bisnis media kian ketat. Maka, dalam menghadapi persaingan, media membuat berita yang memiliki nilai berita tinggi sehingga ingin diketahui semua orang.
Menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes (2006:77) ada empat macam perkembangan yang terjadi dalam bisnis media, yaitu: Pertama, growth (pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar-perusahaan atau join, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke mana-mana. Kedua, integration (integrasi), raksasa media terintergrasi secara horisontal dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio dan sebagainya. Tapi juga terjadi integrasi secara vertikal, dengan pemilikan perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi, dari hulu sampai hilir. Misalnya memiliki perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop, perusahaan DVD, dan jaringan stasiun televisi. Ketiga, globalization, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara. Keempat, terkonsentrasinya kepemilikan media pada satu pemilik.
B. Contoh Komodifikasi Media
Praktek komodifikasi menurut Mosco (2009:134) pada televisi dapat dilihat dengan dirubahnya konten atau isi media menjadi sesuatu yang memiliki nilai tukar (komoditas) untuk mendapatkan profit. Salah satu strategi agar media televisi bisa mendapatkan profit adalah dengan memproduksi program-program tayangan televisi yang sesuai dengan keinginan atau selera pasar sehingga dapat menaikkan rating. Rating menjadi salah satu alat untuk menilai content tersebut (teks/produk media) apakah content tersebut layak untuk dijual atau tidak. Kelayakan ini ditandai dengan seberapa banyak pengiklan yang mau untuk memasang iklan dalam setiap penayangan program tersebut. Selain itu, rating juga bisa dijadikan data dalam meng-komodifikasi audiens. Data audiens yang terangkum dalam rating bisa menjadi patokan bagi para pengiklan yang ingin mengiklankan produknya dalam program tayangan acara tersebut.
Berdasarkan dari data tersebutlah, sehingga para pemilik media menjadikan program-program reality show khususnya yang bertema kemiskinan sebagai salah satu program unggulan, karena melalui program-program semacam itu mereka bisa mendapatkan profit atau keuntungan dengan cara meraup iklan sebanyak-banyaknya. Dan para pengiklan juga tidak mau melewatkan kesempatan untuk mempromosikan produknya dalam jeda tayangan program acara reality show tersebut. Rating tersebut juga yang dijadikan oleh para produsen media sebagai dasar untuk memasang tarif iklan yang cukup tinggi kepada para pengiklan yang ingin mengiklankan produknya.
1. Komodifikasi Media di Televisi
Program reality show “Bedah Rumah” adalah salah satu program reality show dari stasiun televisi Global TV. Acara yang dipandu oleh presenter Soraya Rasyid tersebut bercerita tentang sosok keluarga yang kurang mampu tetapi giat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga keluarga tersebut pada akhirnya dianggap berhak untuk mendapatkan hadiah atau bantuan dari pihak Global TV berupa renovasi rumah agar lebih layak untuk ditempati. Dalam program acara tersebut juga disertakan seorang artis atau publik figur yang ikut tinggal dan merasakan perjuangan keluarga tersebut dalam beberapa hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga tersebut.
Bedah Rumah merupakan salah satu tayangan reality show terfavorit yang disiarkan oleh Global TV dan dipandu oleh presenter Soraya Rasyid. Acara ini merupakan reality show yang menceritakan perjuangan sebuah keluarga yang kurang mampu tetapi memiliki semangat yang tinggi untuk terus giat bekerja dalam memenuhi keutuhan hidup sehari-harinya, yang pada akhirnya nanti akan dinilai apakah keluarga tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan hadiah dari pihak Global TV yakni berupa renovasi rumah agar lebih layak untuk ditempati. Dalam acara ini juga disertakan seorang artis atau public figure yang ikut tinggal selama beberapa hari dengan keluarga tersebut untuk merasakan perjuangan yang dialami oleh keluarga tersebut. Artis atau public figure tersebut juga membantu pekerjaan keluarga tersebut dalam bekerja seperti berdagang di pasar, memanen sayuran, hingga membantu pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Setelah tinggal beberapa hari, puncaknya artis tersebut memberitahukan kepada keluarga yang bersangkutan bahwa mereka telah mendapatkan program bantuan dari Global TV berupa renovasi rumah. Pada saat proses renovasi rumah, si artis atau publik figur tersebut mengajak keluarga tersebut untuk jalan-jalan (biasanya pergi ke suatu taman bermain) dan menginap di hotel mewah. Setelah beberapa hari atau setelah rumah mereka selesai direnovasi mereka dipulangkan ke kampung atau tempat mereka tinggal untuk melihat hasil renovasi rumah mereka yang menjadi lebih layak untuk dihuni.
Program acara reality show diatas merupakan salah satu bentuk komodifikasi media di televisi. Karena dengan teks-audiovisual dalam bentuk momen yang merepresentasikan kemiskinan tersebut, para produser bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari iklan dan sponsor yang masuk dalam acara mereka. Walaupun hal itu juga dianggap menguntungkan bagi si miskin sesuai dalih si produser, namun tidak dapat kita pungkiri bahwa para produser memiliki kepentingan besar yang ada di balik tayangan “realitas kemiskinan” tersebut.
2. Komodifikasi Media di Internet (Youtube)
Youtube adalah salah satus situs sosial media terbesar di dunia dimana orang-orang bisa menggunggah video yang mereka buat. Youtube dibuat secara spesifik hanya untuk video, orang-orang bisa menonton video yang orang lain unggah. Pada awalnya, Youtube didirikan oleh tiga orang yaitu Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim. Tiga orang ini adalah mantan pegawai PayPal yang bergerak dalam jasa transfer uang elektronik. Resident Evil dibuat oleh Shinji Mikami dan Tokuru Fujiwara dan game tersebut dimiliki oleh suatu perusahaan pengembang dan penerbit game bernama Capcom. Pembuatan game ini pertama kali dimulai pada tahun 1993 saat Tokuro Fujiwara berbicara dengan Shinji Mikami untuk membuat game dengan memakai sistem dari salah satu game horror terdahulunya yaitu Sweet Home. Pada akhir tahun 1994, bagian pemasaran dari Capcom menginginkan agar game ini nantinya dapat dipasarkan di United States. Sebuah kontes pun diselenggarakan diantara para karyawan untuk memilih nama game yang akan menarik minat untuk pasaran Amerika dan Eropa, dan akhirnya nama Resident Evil pun terpilih.
Pemilik akun Klepon Parot melakukan komodifikasi isi disalah satu sosial media yang bernama Youtube. Pemilik akun ini mengunggah berbagai macam video di akunnya. Awalnya Youtube hanya jejaring media sosial yang membagikan video untuk ditonton oleh orang banyak. Lalu pemilik akun ini mendapatkan tawaran untuk memonetisasi tayangannya sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan dalam arti lain adalah uang. Melalui video Resident Evil VII yang ia unggah berhasil membantu meraup keuntungan untuk akunnya. Berikut adalah hasil keuntungan yang ia berikan dari seluruh tayangan yang ada di akunnya. Persyaratan monetisasi yang diterapkan oleh Youtube pada saat Klepon Parot menerimanya, tidak seketat pada waktu yang sekarang. Dulu ia bisa mendapatkan izin monetisasi dengan hanya memperoleh 100 orang subscriber. Berbeda dengan persyaratan yang sekarang diterapkan oleh Youtube, yaitu para pemilik akun harus memiliki 4000 jam waktu tayang dalam kurun waktu 12 bulan dan wajib memiliki 1000 orang subscriber. Subscriber berarti orang yang berlangganan di suatu akun di Youtube untuk menyaksikan kanal yang mereka suka. Subscriber inilah yang dikumpulkan oleh akun Klepon Parot dan disitulah terjadi komodifikasi khalayak. Subscriber inilah yang akan “dijual” oleh pihak Youtube kepada para pengiklan. Para subscriber akan disuguhi iklan berdasarkan apa yang ia tonton. Klepon Parot dengan akunnya tidak menjadi komodifikasi pekerja. Dia bukanlah seorang yang bekerja di instansi Youtube secara sah, atau dalam artian tidak ada kontrak kerja yang terjalin antara pemilik akun Klepon Parot dan pihak Youtube. Klepon parot hanyalah pengguna akun media sosial yang mengunggah videonya sendiri tanpa bekerja pada instansi manapun, sehingga video yang ia unggah tidak bertujuan untuk membangun suatu citra suatu instansi. Jadi akun yang dimilikinya adalah akun pribadi bukan akun instansi. Klepon Parot adalah salah satu akun Youtube yang berhasil melakukan komodifikasi di media sosial Youtube. Klepon Parot sendiri berbasis di Indonesia dan menayangkan beragam jenis tayangan video di Youtube, tidak terkecuali game. Salah satu game yang diunggah di akunnya adalah game Resident Evil VII. Klepon Parot memulai membuat akun di Youtube semenjak April 2017. Pembuatan akun Youtube bukan hanya untuk kesenangan semata, tetapi ada unsur ekonomi yang menjadi latar belakangnya. Pemilik akun Klepon Parot memiliki keinginan yang sama dengan anak lainnya, yaitu bisa berkuliah di kampus yang diinginkannya, akan tetapi biaya kuliah yang mahal menjadi penghalang untuk keinginannya. Dia menemukan cara mendapatkan uang melalui Youtube dan membuat akun seperti sekarang. Sebelum ia bisa mendapatkan uang, ia harus mengikuti persyaratan oleh pihak Youtube. Salah satu syaratnya adalah dia harus mendapat jumlah view (jumlah orang-orang melihat video yang ia unggah) sebanyak 1 juta dan ia berhasil memenuhi persyaratan tersebut dalam kurun waktu 3 bulan. Youtube memberikan sebuah pemberitahuan kepada akun Klepon Parot yang mana pemberitahuan tersebut berisi izin untuk monetisasi videonya. Pemberitahuan tersebut dikirimkan melalui surat elektronik (e-mail) yang sudah ditautkan oleh Klepon Parot. Setelah mendapatkan izin untuk monetisasi, tidak serta merta langsung bisa menampilkan iklan pada video yang diunggahnya, ada langkah-langkah selanjutnya yang harus diselesaikan agar dapat menampilkan iklan di akunnya. Langkah selanjutnya adalah membuat akun untuk penyedia jasa iklan. Dikarenakan Youtube telah dibeli oleh pihak Google pada 13 November 2016, maka penyedia jasa iklan secara otomatis akan diserahkan ke Google Adsense, akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika pengguna ingin menggunakan jasa penyedia iklan yang lain.
Google Adsense adalah suatu program yang membantu para pemilik situs baik itu blog ataupun website untuk mendapatkan uang dengan cara menampilkan iklan dari iklan Google. Mendaftar di Google Adsense sangatlah mudah, pertama dengan mengunjungi situs Google Adsense dan memilih mendaftar (Sign-Up) lalu memasukkan alamat website Youtube yang sudah dikostumisasi atau yang biasa disebut Custom URL. Sesudah memasukkan alamat website yang dimiliki lalu masukkan alamat e-mail yang digunakan lalu pilih “simpan”. Cara yang dilakukan selanjutnya ialah masuk ke akun Google lalu cari e-mail yang masuk mengenai Adsense dan terima persyaratan yang diajukan, jika sudah disetujui maka selesailah sudah membuat akun Google Adsense. Apabila sudah selesai, maka tiap kali mengunggah video dan memasukkan monetasi, secara otomatis Google Adsense akan mengelola penayangan iklan tersebut.
Daftar Pustaka
Barant, Stanley J & Davis Denis, K. 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan. Salemba Humanika, Jakarta.
Crateau, David dan Hoynes William. 2000. Media/Society, Industries, Images, And Audience. Pine Forge Press, London.
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi. Ghalia Indonesia, Bogor.
McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa. Salemba Humanika, Jakarta.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. Sage, London.
Rivers, William L & Petterson, Theodore & Jensen Jay W. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Prenada Media, Jakarta.
A. Media Sebagai Nilai Ekonomi
Mengelola perusahaan media dewasa ini, apakah itu media cetak, radio dan televisi, tidak sama dengan mengelola perusahaan yang sama pada masa lalu. Keterbukaan pasar pers sejak era reformasi dan pengaruh keterbukaan pasar Indonesia terhadap persaingan dari luar atau globalisasi membawa dampak yang besar pada pasar media di negara kita.
Era perjuangan yang dikenal dengan industri media sudah menjadi sejarah masa lalu. Era yang berjalan sejak zaman kolonialisme itu, telah berubah sejak perekonomian Indonesia mengalami kemajuan di masa pemerintahan Soeharto. Industri media tidak lagi tergantung pada subsidi partai atau pemerintah. Pada saat itu, industri media mulai memasuki masa baru yang disebut dengan era bisnis dalam media, di mana periklanan telah menjadi sumber penting penghasilan industri media dan persaingan di pasar bertambah sengit dalam rangka merebut kue iklan. Pada saat itu, industri media tidak lagi menjual atau memasarkan produk content-nya kepada pasar khalayak, tetapi juga menjual produk audience-nya kepada dunia usaha sebagai pengiklan (advertisers), di mana pasar periklanan meningkat dan persaingan media untuk merebut kue iklan itu juga meningkat.
Herman dan Chomsky dalam Usman Ks (2009:6), menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Banyak pengusaha besar yang menanamkan modalnya dalam bisnis media massa. Para pengusaha yang terjun ke industri media tentu berharap modal yang sudah mereka tanamkan bisa kembali, bahkan menghasilkan keuntungan. Terjunnya pengusaha besar dalam industri besar dalam industri media memunculkan fenomena konglomerasi media. Selain dari pengusaha besar atau investor, yang menjadi sumber ekonomi media adalah pasar, yakni khalayak (hasil penjualan atau sirkulasi) dan pengiklan. Media juga harus mengetahui selera pasar dan perubahannya. Bagaimanapun, sebagai institusi ekonomi, media massa harus memenuhi kebutuhan pasar. Dikarenakan, pasarlah yang “membiayai” kelangsungan hidup media.
Picard dalam Usman Ks (2009:3) menyebutkan ekonomi media berkaitan dengan bagaimana industri media mengalokasikan berbagai sumber untuk menghasilkan materi informasi dan hiburan untuk memenuhi kebutuhan audiens, pengiklan, dan institusi sosial lainnya. Media massa sebagai mesin atau pabrik penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan keuntungan besar dari sisi ekonomi. Ekonomi media mempelajari bagaimana industri media memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memproduksi konten dan mendistribusukannya kepada khalayak dengan tujuan memenuhi beragam permintaan dan kebutuhan akan informasi dan hiburan.
Pengelolaan media pada masa kini jauh dari ideal kepentingan publik. Meskipun industri media memiliki ratusan karyawan yang bagus, rajin, dan berbagai profesional, kendala struktural yang diciptakan oleh perusahaan terkadang menjadi kendala untuk mempertemukan berbagai potensi karyawan tersebut. Sebaliknya, media yang beragam, inovatif, substantive, dan independen karena perubahan strategis dalam industri media sering menyebabkan media tersebut memiliki konten yang homogen, memberitakan hal-hal sepele, dan membatasi rung gerak wartawan mereka sendiri. Sebuah media membuat kepentingan publik bila isi media mencerminkan keberagaman format dan konten. Media tersebut menampilkan lebih banyak suara dan perspektif dari beragam titik, yang dimasukkan dalam setiap pemberitaan.
Teori Ekonomi Politik Media
Ekonomi politik media terkait dengan masalah kapital atau modal dari para investor yang bergerak dalam industri media. Para pemilik modal menjadikan media sebagai usaha untuk meraih untung, dimana keuntungan tersebut diinvestasikan kembali untuk pengembangan medianya. Sehingga pengakumulasian keuntungan itu, menyebabkan kepemilikan media semakin besar. Dalam menjalankan media, investor mempekerjakan karyawan untuk menghasilkan produk media. Untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana media memproduksi isi, mendistribusikan sehingga bernilai ekonomis, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep untuk mendekatinya yakni: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi (structuration) (Mosco, 1996:139).
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada ranah ini maka struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Strukturasi berkaitan dengan relasi ide antar agen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang masing-masing berhubungan satu sama lain.
Teori ekonomi politik memiliki kekuatan pada tiga hal yaitu berfokus pada bagaimana media dibangun dan dikendalikan, menawarkan penyelidikan empiris mengenai keuangan media, dan mencari hubungan antara proses produksi konten media dan keuangan media (Barant, 2010:263). Teori ekonomi politik bersifat kritis, dimana teori ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu dan menyediakan cara-cara pengganti untuk menafsirkan peran sosial media (Barant, 2010:252). Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa, dimana keduanya dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Teori ini mengindentifikasi berbagai kendala atau hambatan yang dilakukan para praktisi media yang membatasi kemampuan mereka untuk menantang kekuasaaan yang sedang mapan. Dimana penguasa membatasi produksi konten yang dilakukan pekerja media, sehingga konten media yang diproduksi tersebut kian memperkuat status quo. Sehingga menghambat berbagai upaya untuk menghasilkan perubahan sosial yang konstruktif. Upaya penghambatan para pemilik pemodal, bertolak belakang dengan teoritikus ekonomi politik ini, yang justru aktif bekerja demi perubahan sosial. Karena itu, menurut Barant (2010:263), para teoritikus ekonomi politik menitikberatkan pada bagaimana proses produksi konten dan distribusi dikendalikan. Kekuatan utama teori ini terletak pada kemampuannya dalam menyodorkan gagasan yang dapat dibuktikan secara empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar. Salah satu kelemahan aliran ekonomi politik ialah unsur-unsur yang berada dalam kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. Walaupun aliran memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun aliran ini kemudian melahirkan ragam aliran baru yang menarik, yakni ragam aliran yang menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian media mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik media sampai pada batas-batas tertentu.
Ekonomi politik adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media. (McQuail,2011:105). Melihat hal ini maka institusi media merupakan sebagai bagian dari sistem ekonomi dengan hubungan erat kepada sistem politik. Hal ini mengakibatkan berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi pada khalayak yang lebih luas, menghindari risiko, dan mengurangi penanaman modal pada tugas media yang kurang menguntungkan. Pada sisi lainnya, media juga akan mengabaikan kepentingan khalayak potensial yang kecil dan miskin, karena dinilai tidak menguntungkan. Kemudian pemberitaan terhadap kelompok masyarakat minoritas, cenderung tidak seimbang. Barant (2011:250) menyebutnya teori ekonomi politik media fokus pada penggunaan elite sosial atas kekuatan ekonomi untuk mengeksploitasi institusi media.
Pasar Bisnis Media
Memasuki era moderen, media massa telah memasuki era industri atau telah menjadi institusi ekonomi. Ciri dari era industrialisasi adalah adanya kebutuhan modal yang cukup besar untuk mendirikan dan mengelola bisnis media massa. Menurut McQuail (2011:245) media semakin menjadi industri tanpa meninggalkan bentuknya sebagai institusi masyarakat; dan pemahaman tentang prinsip-prinsip utama struktur dan dinamika media menuntut analisis ekonomi, selain politik dan budaya. Meski media tumbuh sebagai respons terhadap kebutuhan sosial dan budaya individu dan masyarakat, media pada umumnya dikelola sebagai perusahaan bisnis. Karena itu, maka pengelolaan media massa membutuhkan modal. Menurut Vivian (2008:20), mendirikan dan mengoperasikan media massa butuh biaya mahal. Peralatan dan fasilitas membutuhkan investasi besar. Media massa beroperasi dalam lingkungan kapitalistis. Dengan sedikit pengecualian, mereka berusaha mendapatkan banyak uang. Kondisi ini membuat bisnis media hanya bisa dilakukan para pemodal kuat. Pemodal akan menanamkan uangnya, tidak hanya untuk mengembangkan perusahaan, tapi juga untuk menghadapi persaingan bisnis media yang cukup ketat. Maka untuk mengembalikan modal yang sudah ditanamkan, pemilik media akan mengharuskan media tersebut meraih laba. Bisnis media selalu mengalami perubahan.
Menurut William L River (2004:51) perubahan media akibat perkembangan demokrasi, revolusi industri dan teknologi, serta bermunculan kota-kota baru.
Pertama, sistem demokrasi yang dianut oleh setiap negara, amat menentukan bagaimana perkembangan media massa. Negara-negara yang mengusung sistem demokrasi memberikan kebebasan pers sebagai bentuk untuk tumbuhnya industri media.
Kedua, revolusi industri dan teknologi telah mengubah cara kerja media dalam bisnis, pemberitaan, distribusi, dan iklan. Revolusi teknologi mengubah media dari kegiatan sambilan menjadi industri yang membutuhkan investasi cukup besar. Revolusi industri ditandai dengan digunakannya berbagai teknologi mekanik. Ketersediaan listrik yang memacu energi pabrik dan transportasi, melandasi muncul dan berkembangnya radio, film, dan televisi. Kemajuan teknologi telah meningkatkan ukuran, jangkauan, dan efisiensi dalam semua lini usahanya untuk menghadapi persaingan industri media. Efisiensi dapat dilakukan pada level manajemen, organisasi, produksi, dan distribusi. Sehingga dapat memperkecil biaya operasional perusahaan, meningkatkan kualitas produk, memperluas jaringan, dan meningkatkan pendapatan. Kemajuan teknologi memunculkan produk media baru yang memiliki nilai ekonomis seperti film, radio, dan televisi, dan internet. Lahirnya media baru tersebut, untuk melengkapi bisnis media tersebut.
Ketiga, media berubah karena lahirnya kota-kota baru. Adanya kota baru, pertama karena adanya kebijakan pemerintah untuk membuat kota baru. Kedua, karena daerah tersebut memiliki sumber kekayaan alam yang besar, sehingga membuat arus urbanisasi masyarakat dari desa menuju kota tersebut cukup tinggi. Ketika kota-kota itu tumbuh yang ditandai dengan bertambahnya populasi dan meningkatnya sumber pendapatan masyarakat, maka jumlah penduduk yang meningkat tersebut merupakan pasar baru bagi media. Sehingga secara ekonomis, media dapat tumbuh di kota tersebut
Mengelola media massa memerlukan strategi khusus, karena manajemen media massa berbeda dengan manajemen bisnis nonmedia. Menurut David Croteau dan William Hoynest (2001:26-29), ada tiga hal yang membedakan bisnis media dengan nonmedia. Pertama, bisnis media massa beroperasi dalam pasar produk ganda yaitu menjual produk dan menawarkan iklan. Pada pasar pertama, media massa menjual produknya kepada masyarakat secara langsung. Untuk media cetak, manajemen media menjual surat kabar, majalah, dan tabloid. Untuk media elektronik menjual program acara hiburan yaitu film, talkshow, dan program berita yang dapat disaksikan langsung oleh masyarakat. Pada pasar kedua, media massa menyediakan ruangan (space) kepada produsen untuk memasang iklannya. Maka bagian pemasaran media massa akan mendatangi produsen untuk melakukan promosi dengan memasang iklan di media tersebut. Kedua, media massa sebagai sumber kewargaan. Media massa tidak hanya memberikan informasi kepada warga, namun memberikan pendidikan informal kepada masyarakat. Ketiga, keunikan status hukum media massa. Kebebasan berekspresi merupakan hak warga negara yang diidentikkan dengan media massa. Kebebasan menyatakan pendapat, yang menggunakan saluran media massa, sudah di atur dalam berbagai perangkat hukum.
Media massa mengandalkan pendapatannya pada pasar konsumer dan pasar iklan, menyebabkan media massa memiliki ketergantungan terhadap konsumen selaku pembeli produk dan produsen selalu pemasang iklan. Sehingga semakin tinggi ketergantungan terhadap iklan sebagai sumber pendapatan, semakin rendah pula kebebasan media massa dalam menulis konten berita dari kepentingan pengiklan dan bisnis secara umum. Dengan kata lain, setiap produsen yang telah memasang iklan pada media tersebut, konsekuensinya adalah media massa hanya memberitakan berita-berita yang bernada positif terhadap pemasang iklan. Media yang menggantungkan pendapatannya pada iklan, amat riskan terhadap perkembangan perekonomian suatu negara. Semakin tinggi perekonomian suatu negara, produsen semakin sering mengiklankan produknya di media massa. Namun begitu perekonomian negara jatuh, produsen pun mengurangi atau menghentingan belanja iklanya, yang berimplikasi surutnya para pemasang iklan di media massa. Persaingan dalam bisnis media, membuat kompetisi di bisnis media kian ketat. Maka, dalam menghadapi persaingan, media membuat berita yang memiliki nilai berita tinggi sehingga ingin diketahui semua orang.
Menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes (2006:77) ada empat macam perkembangan yang terjadi dalam bisnis media, yaitu: Pertama, growth (pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antar-perusahaan atau join, sehingga menjadi makin besar dan merambah ke mana-mana. Kedua, integration (integrasi), raksasa media terintergrasi secara horisontal dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio dan sebagainya. Tapi juga terjadi integrasi secara vertikal, dengan pemilikan perusahaan di berbagai tahapan produksi dan distribusi, dari hulu sampai hilir. Misalnya memiliki perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop, perusahaan DVD, dan jaringan stasiun televisi. Ketiga, globalization, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara. Keempat, terkonsentrasinya kepemilikan media pada satu pemilik.
B. Contoh Komodifikasi Media
Praktek komodifikasi menurut Mosco (2009:134) pada televisi dapat dilihat dengan dirubahnya konten atau isi media menjadi sesuatu yang memiliki nilai tukar (komoditas) untuk mendapatkan profit. Salah satu strategi agar media televisi bisa mendapatkan profit adalah dengan memproduksi program-program tayangan televisi yang sesuai dengan keinginan atau selera pasar sehingga dapat menaikkan rating. Rating menjadi salah satu alat untuk menilai content tersebut (teks/produk media) apakah content tersebut layak untuk dijual atau tidak. Kelayakan ini ditandai dengan seberapa banyak pengiklan yang mau untuk memasang iklan dalam setiap penayangan program tersebut. Selain itu, rating juga bisa dijadikan data dalam meng-komodifikasi audiens. Data audiens yang terangkum dalam rating bisa menjadi patokan bagi para pengiklan yang ingin mengiklankan produknya dalam program tayangan acara tersebut.
Berdasarkan dari data tersebutlah, sehingga para pemilik media menjadikan program-program reality show khususnya yang bertema kemiskinan sebagai salah satu program unggulan, karena melalui program-program semacam itu mereka bisa mendapatkan profit atau keuntungan dengan cara meraup iklan sebanyak-banyaknya. Dan para pengiklan juga tidak mau melewatkan kesempatan untuk mempromosikan produknya dalam jeda tayangan program acara reality show tersebut. Rating tersebut juga yang dijadikan oleh para produsen media sebagai dasar untuk memasang tarif iklan yang cukup tinggi kepada para pengiklan yang ingin mengiklankan produknya.
1. Komodifikasi Media di Televisi
Program reality show “Bedah Rumah” adalah salah satu program reality show dari stasiun televisi Global TV. Acara yang dipandu oleh presenter Soraya Rasyid tersebut bercerita tentang sosok keluarga yang kurang mampu tetapi giat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga keluarga tersebut pada akhirnya dianggap berhak untuk mendapatkan hadiah atau bantuan dari pihak Global TV berupa renovasi rumah agar lebih layak untuk ditempati. Dalam program acara tersebut juga disertakan seorang artis atau publik figur yang ikut tinggal dan merasakan perjuangan keluarga tersebut dalam beberapa hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga tersebut.
Bedah Rumah merupakan salah satu tayangan reality show terfavorit yang disiarkan oleh Global TV dan dipandu oleh presenter Soraya Rasyid. Acara ini merupakan reality show yang menceritakan perjuangan sebuah keluarga yang kurang mampu tetapi memiliki semangat yang tinggi untuk terus giat bekerja dalam memenuhi keutuhan hidup sehari-harinya, yang pada akhirnya nanti akan dinilai apakah keluarga tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan hadiah dari pihak Global TV yakni berupa renovasi rumah agar lebih layak untuk ditempati. Dalam acara ini juga disertakan seorang artis atau public figure yang ikut tinggal selama beberapa hari dengan keluarga tersebut untuk merasakan perjuangan yang dialami oleh keluarga tersebut. Artis atau public figure tersebut juga membantu pekerjaan keluarga tersebut dalam bekerja seperti berdagang di pasar, memanen sayuran, hingga membantu pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Setelah tinggal beberapa hari, puncaknya artis tersebut memberitahukan kepada keluarga yang bersangkutan bahwa mereka telah mendapatkan program bantuan dari Global TV berupa renovasi rumah. Pada saat proses renovasi rumah, si artis atau publik figur tersebut mengajak keluarga tersebut untuk jalan-jalan (biasanya pergi ke suatu taman bermain) dan menginap di hotel mewah. Setelah beberapa hari atau setelah rumah mereka selesai direnovasi mereka dipulangkan ke kampung atau tempat mereka tinggal untuk melihat hasil renovasi rumah mereka yang menjadi lebih layak untuk dihuni.
Program acara reality show diatas merupakan salah satu bentuk komodifikasi media di televisi. Karena dengan teks-audiovisual dalam bentuk momen yang merepresentasikan kemiskinan tersebut, para produser bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari iklan dan sponsor yang masuk dalam acara mereka. Walaupun hal itu juga dianggap menguntungkan bagi si miskin sesuai dalih si produser, namun tidak dapat kita pungkiri bahwa para produser memiliki kepentingan besar yang ada di balik tayangan “realitas kemiskinan” tersebut.
2. Komodifikasi Media di Internet (Youtube)
Youtube adalah salah satus situs sosial media terbesar di dunia dimana orang-orang bisa menggunggah video yang mereka buat. Youtube dibuat secara spesifik hanya untuk video, orang-orang bisa menonton video yang orang lain unggah. Pada awalnya, Youtube didirikan oleh tiga orang yaitu Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim. Tiga orang ini adalah mantan pegawai PayPal yang bergerak dalam jasa transfer uang elektronik. Resident Evil dibuat oleh Shinji Mikami dan Tokuru Fujiwara dan game tersebut dimiliki oleh suatu perusahaan pengembang dan penerbit game bernama Capcom. Pembuatan game ini pertama kali dimulai pada tahun 1993 saat Tokuro Fujiwara berbicara dengan Shinji Mikami untuk membuat game dengan memakai sistem dari salah satu game horror terdahulunya yaitu Sweet Home. Pada akhir tahun 1994, bagian pemasaran dari Capcom menginginkan agar game ini nantinya dapat dipasarkan di United States. Sebuah kontes pun diselenggarakan diantara para karyawan untuk memilih nama game yang akan menarik minat untuk pasaran Amerika dan Eropa, dan akhirnya nama Resident Evil pun terpilih.
Pemilik akun Klepon Parot melakukan komodifikasi isi disalah satu sosial media yang bernama Youtube. Pemilik akun ini mengunggah berbagai macam video di akunnya. Awalnya Youtube hanya jejaring media sosial yang membagikan video untuk ditonton oleh orang banyak. Lalu pemilik akun ini mendapatkan tawaran untuk memonetisasi tayangannya sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan dalam arti lain adalah uang. Melalui video Resident Evil VII yang ia unggah berhasil membantu meraup keuntungan untuk akunnya. Berikut adalah hasil keuntungan yang ia berikan dari seluruh tayangan yang ada di akunnya. Persyaratan monetisasi yang diterapkan oleh Youtube pada saat Klepon Parot menerimanya, tidak seketat pada waktu yang sekarang. Dulu ia bisa mendapatkan izin monetisasi dengan hanya memperoleh 100 orang subscriber. Berbeda dengan persyaratan yang sekarang diterapkan oleh Youtube, yaitu para pemilik akun harus memiliki 4000 jam waktu tayang dalam kurun waktu 12 bulan dan wajib memiliki 1000 orang subscriber. Subscriber berarti orang yang berlangganan di suatu akun di Youtube untuk menyaksikan kanal yang mereka suka. Subscriber inilah yang dikumpulkan oleh akun Klepon Parot dan disitulah terjadi komodifikasi khalayak. Subscriber inilah yang akan “dijual” oleh pihak Youtube kepada para pengiklan. Para subscriber akan disuguhi iklan berdasarkan apa yang ia tonton. Klepon Parot dengan akunnya tidak menjadi komodifikasi pekerja. Dia bukanlah seorang yang bekerja di instansi Youtube secara sah, atau dalam artian tidak ada kontrak kerja yang terjalin antara pemilik akun Klepon Parot dan pihak Youtube. Klepon parot hanyalah pengguna akun media sosial yang mengunggah videonya sendiri tanpa bekerja pada instansi manapun, sehingga video yang ia unggah tidak bertujuan untuk membangun suatu citra suatu instansi. Jadi akun yang dimilikinya adalah akun pribadi bukan akun instansi. Klepon Parot adalah salah satu akun Youtube yang berhasil melakukan komodifikasi di media sosial Youtube. Klepon Parot sendiri berbasis di Indonesia dan menayangkan beragam jenis tayangan video di Youtube, tidak terkecuali game. Salah satu game yang diunggah di akunnya adalah game Resident Evil VII. Klepon Parot memulai membuat akun di Youtube semenjak April 2017. Pembuatan akun Youtube bukan hanya untuk kesenangan semata, tetapi ada unsur ekonomi yang menjadi latar belakangnya. Pemilik akun Klepon Parot memiliki keinginan yang sama dengan anak lainnya, yaitu bisa berkuliah di kampus yang diinginkannya, akan tetapi biaya kuliah yang mahal menjadi penghalang untuk keinginannya. Dia menemukan cara mendapatkan uang melalui Youtube dan membuat akun seperti sekarang. Sebelum ia bisa mendapatkan uang, ia harus mengikuti persyaratan oleh pihak Youtube. Salah satu syaratnya adalah dia harus mendapat jumlah view (jumlah orang-orang melihat video yang ia unggah) sebanyak 1 juta dan ia berhasil memenuhi persyaratan tersebut dalam kurun waktu 3 bulan. Youtube memberikan sebuah pemberitahuan kepada akun Klepon Parot yang mana pemberitahuan tersebut berisi izin untuk monetisasi videonya. Pemberitahuan tersebut dikirimkan melalui surat elektronik (e-mail) yang sudah ditautkan oleh Klepon Parot. Setelah mendapatkan izin untuk monetisasi, tidak serta merta langsung bisa menampilkan iklan pada video yang diunggahnya, ada langkah-langkah selanjutnya yang harus diselesaikan agar dapat menampilkan iklan di akunnya. Langkah selanjutnya adalah membuat akun untuk penyedia jasa iklan. Dikarenakan Youtube telah dibeli oleh pihak Google pada 13 November 2016, maka penyedia jasa iklan secara otomatis akan diserahkan ke Google Adsense, akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika pengguna ingin menggunakan jasa penyedia iklan yang lain.
Google Adsense adalah suatu program yang membantu para pemilik situs baik itu blog ataupun website untuk mendapatkan uang dengan cara menampilkan iklan dari iklan Google. Mendaftar di Google Adsense sangatlah mudah, pertama dengan mengunjungi situs Google Adsense dan memilih mendaftar (Sign-Up) lalu memasukkan alamat website Youtube yang sudah dikostumisasi atau yang biasa disebut Custom URL. Sesudah memasukkan alamat website yang dimiliki lalu masukkan alamat e-mail yang digunakan lalu pilih “simpan”. Cara yang dilakukan selanjutnya ialah masuk ke akun Google lalu cari e-mail yang masuk mengenai Adsense dan terima persyaratan yang diajukan, jika sudah disetujui maka selesailah sudah membuat akun Google Adsense. Apabila sudah selesai, maka tiap kali mengunggah video dan memasukkan monetasi, secara otomatis Google Adsense akan mengelola penayangan iklan tersebut.
Daftar Pustaka
Barant, Stanley J & Davis Denis, K. 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan. Salemba Humanika, Jakarta.
Crateau, David dan Hoynes William. 2000. Media/Society, Industries, Images, And Audience. Pine Forge Press, London.
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi. Ghalia Indonesia, Bogor.
McQuail, Denis. 2011. Teori Komunikasi Massa. Salemba Humanika, Jakarta.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. Sage, London.
Rivers, William L & Petterson, Theodore & Jensen Jay W. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Prenada Media, Jakarta.
0 Response to "Komodifikasi Dalam Media"
Post a Comment